Saturday, 16 December 2017
Tradisi Selamatan Dalam Pandangan Masyarakat Islam Pedesaan
Upacara selamatan merupakan tradisi yang banyak di jumpai pada masyarakat di Indonesia terutama di pulau Jawa. Upacara tersebut dilaksanakan untuk menghormati,mendoakan orang yang telah meninggal, maupun juga untuk mewujudkan rasa syukur atas nikmat yang telah diterima. Selamatan merupakan salah satu hasil alkulturasi islam dan budaya lokal. Berkat keterbukaan masyarakat terhadap kebudayaan baru, pada akhirnya kedua kebudayaan tersebut dapat beralkulturasi dengan baik tanpa menumbulkan konflik yang serius. Biasanya masyarakat islam yang melaksanakan tradisi selamatan ini berasal dari kalangan Islam NU (Nahdathul Ulama’).
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan di sekitar lingkungan tempat tinggal saya, tepatnya di desa Sumbergandu, kecamatan Pilangkenceng, Caruban, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, dapat saya ambil kesimpulan bahwa adanya tradisi selamatan di kalangan mereka karena mereka mengacu pada sejarah masuknya islam di Jawa yang tidak terlepas dari peran para wali, yang terkenal dengan sebutan wali songo (wali sembilan). Dalam penyebaran agama islam ini para wali itu memiliki beberapa metode, salah satunya yaitu dengan cara mengalkulturasikan agama islam dengan budaya yang ada. Hasil dari alkulturasi itu salah satunya selamatan yang sebelumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa yang pada masa itu kebanyakan beragama Hindu dan Budha. Mantera-mantera diawali dengan bismillah dan berakhir dengan (ucapan) la ilaha illa Allah, ucapan sesajen diganti dengan istilah Arab. Sebagian dari mereka ada yang menyadari bahwa ada beberapa masyarakat yang menganggap tradisi slamatan itu Bid’ah, akan tetapi mayoritas dari mereka yang melakukan tradisi selamatan tersebut beranggapan bahwa tidak semua Bid’ah itu bersifat Dhalalah (sesat). Mereka tidak hanya melihat sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alahi Wa Sallam dari teksnya saja, tapi lihat juga maksud dari hadits tersebut, sebab turunnya bagaimana. Imam Syafi’i juga tidak memukul rata bahwa bid’ah itu semua dhalalah. Bahkan beliau membagi Bid’ah menjadi dua, yaitu: Bid’ah hasanah dan Bid’ah sayyi’ah (jelek).
Dapat saya simpulkan dari hasil penelitian saya bahwa mereka melalukan acara selamatan ini semata-mata bukan untuk menentang ajaran yang telah diajarkan Allah SWT. Sebagai contohnya, selamatan untuk orang yang telah meninggal dunia. Mereka meyakini bahwa adanya selamatan hanya untuk mengirim doa untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut, bukan dengan maksud lain, seperti halnya memuja roh nenek moyang dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hubungan manusia hidup dengan yang mati ini Syekh Islam Ibnu Taimiyah berpendapat dalam kutipan badruddin Hsubky[ ] berdasarkan hadis Nabi SAW sebagai berikut:
“Apabila anak Adam mati, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, sedakeh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya”
Menurut Ibnu Taimiyah, tidak terdapat keterangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan bahwa sesungguhnya do’a yang hidup tidak bermanfaat bagi si mati. Bahkan menurut beliau, sebenarnya bukan hanya do’a yang bisa sampai kepada orang mati. Semua perbuatan manusia hidup bisa berpengaruh terhadap orang mati. Sedangkan adapun pembacaan doa yang mereka lakukan juga tidak menyimpang dari ajaran Al-Quran. Selanjutnya dalam tujuan pemberian hidangan di tradisi selamatan pun bertujuan untuk menjamu tamu atau menghormati tamu undangan, karena hal itu sudah menjadi tradisi apabila kita mengadakan selamatan kematian (tahlilan), syukuran, tujuh bulanan orang hamil, ataupun lain sebagainya, pemberian hidangan dan makanan yang mereka lakukan tidak lebih dari untuk mewujudkan rasa terimakasih karena telah mau bersedia di undang dan ikut mendoakan. Serta juga ada yang menyatakan bahwa tujuan penyajian hidangan adalah untuk bersodaqoh (bersedekah). Mereka meyakini bahwa islam tidak melarang sedekah, yang dilarang dalam islam adalah sedekah yang dikaitkan dengan mengharapkan pertolongan ruh si mati, islam bahkan selalu menuntut umatnya agar banyak melakukan sedekah. Dengan demikian, memberi santunan atau memberi sesuatu yang membuat orang lain senang merupakan suatu perbuatan yang sangat terpuji dalam islam.
Dibawah ini ada beberapa para ulama yang membolehkan dan ada juga yang menganggap slamatan adalah sebuah Bid’ah. Mengenai anggapan yang menganggap selamatan adalah Bid’ah, menurut sebagian ulama bahwa selamatan adalah kegiatan yang baru dalam agama yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah dan Rosulnya Muhammad SAW atau sudah umum kita sebut dengan bid’ah. Hal ini merujuk pada:
“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di tempatnya di neraka.” (HR.Muslimno.867)
Menurut mereka, acara selamatan adalah suatu perkara yang dibuat seseorang/segolongan orang yang menyerupai syari'at untuk tujuan beribadah kepada Allah SWT. Dan acara yang demikian adalah dilarang oleh Allah dan rosul. Sedangkan menurut beberapa ulama yang lain, selamatan diperbolehkan, karena di dalamnya tidak ada unsur-unsur musyrik atau menyembah selain Allah asalkan do'a yang dipanjatkan hanya untuk Allah SWT. Jika ada sesaji atau hidangan itu tujuannya adalah sedekah (yang pasti tidak perlu didalilkan akan perintahnya). Selamatan sendiri adalah kebudayaan, bukan acara peribadatan seperti yang dimaksudkan oleh ulama yang mengutarakan pendapat pertama di atas.
Dari situ dapat saya simpulkan bahasannya tradisi selamatan ialah hanya sebuah bungkus atau wadah, yang di dalamnya berisi ibadah-ibadah yang sebetulnya diperintahkan secara jelas oleh Allah dan Rosulullah, seperti do'a, sedekah dalam bentuk makanan, silaturahmi (bersalam-salaman), dzikir (seperti bacaan tahlil dll), yang kesemuanya itu, seperti doa dam tahlil itu tidak melanggar atau tidak mengada-adakan suatu perkara peribadatan. Jadi, selamatan itu sendiri bukan unsur ibadah, tetapi unsur budaya, yang di dalamnya di isi dengan kegiatan ibadah.
Jika ada waktu tertentu yang dilakukan oleh umat muslim dalam menggelar acaranya, misalkan acara selamatan orang mati, biasanya dilakukan pada 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendak 1, pendak 2, dan 1000 hari, itu hanyalah perjanjian di antara mereka yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ajaran islam. Karena pada dasarnya, selamatan adalah bentuk atau wujud dari sedekah, silaturohim, dan dzikir bersama tetapi dikemas dalam sebuah budaya yaitu selamatan, dan kesemuanya itu bisa dilakukan setiap waktu. Tetapi karena unsur kebiasaan dan kebudayaan dari jaman dahulu, maka menggelar acara yang demikian tetap dilaksanan dalam kurun waktu tertentu, dan itu hanyalah sebatas perjanjian tak tertulis oleh orang-orang yang melakukan selamatan itu sendiri, seperti contohnya perjanjian nasional bahwa hari minggu semua sekolah dan semua instansi diliburkan. Ini kan juga perjanjian manusia. Entah mereka mau libur atau tidak, itu adalah hak masing-masing tanpa dipaksakan. Oleh sebab itu, sebagai umat islam yang baik hendaknya kita tidak seharusnya menghakimi dan mengadili sesuatu yang mungkin kita sendiri belum tau betul hukumnya. Dapat disimpulkan bahwa hukum tradisi selamatan dilarang jika di dalamnya mengandung unsur pengwajiban mengadakan acara tersebut dengan menggunakan harta yang tidak haknya ataupun tujuan dari selamatan itu melenceng dari ajaran Allah.
Tidak bisa dipungkiri bawasannya adanya alkulturasi budaya itu memang tidak dapat di hindari adanya. Oleh karena itu, kita sebagai muslim yang baik hendaknya perlu menanamkan pada diri kita sifat saling memahami,bertoleransi dan menghargai adanya perbedaan. Biarlah mereka mengekspresikan keyakinannya terhadap Tuhannya, asal itu tidak menyimpang dari ajaran agama dan di dalamnya tidak mengandung unsur yang dilarang oleh Allah SWT. Mungkin patutnya kita menyadari bahwa bisa di ibaratkan dengan “1000 jalan, tetapi 1 tujuan”. Yaitu rahmat dan berkah Allah SWT.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment